Ini kisah kecil tentang curhatnya dua sahabat di kampung Genting. Pada suatu malam sekira jam 23.00 wib si sahabat (sebut saja Titer) menceritakan isi hatinya kepada si (sebut saja Tutor) yang selalu membuatnya tidak nyaman disetiap bulan ramadlan.
Begini Tor,, kata si Titer; Jika aku sedang berpuasa (ramadlan) melihat orang yang tidak berpuasa rasanya hati ini panas sekali. Aku marah besar pada orang itu. Padahal aku sadar betul, bahwa ini ga benar. Tapi aku ga bisa mengendalikannya.
Tutor menyimak kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Ia tahu itu wajar, tapi sempat tertegun juga. Bukan tertegun kepada sahabatnya itu, tapi tertegun terhadap dirinya sendiri. Ia merasa amat sangat malu terhadap Tuhannya maupun kepada dirinya sendiri. Didalam hatinya yang bergetar ia berkata, Teerrrr..., sebenarnya aku juga masih seperti kamu Teerrr..?!
Aku diam itu bukan karena aku sudah bisa seperti yang kau pikirkan. Aku diam karena kamu dan orang sekampung ini menganggap aku tokoh yang sudah mumpuni.
Si Tutor merenung sejenak, dihatinya yang paling dalam ia bersujud syukur kepada Tuhannya karena sudah mengirimkan si Titer untuk menampar dirinya.
Tor,,, koq kamu diam saja, kata si Titer. Si Tutor tersentak dan terbangun dari alam rokhaniahnya, dan kemudian berkata;
Itu bagus Ter...! Kenapa? Karena banyak sekali yang seperti kamu tapi tidak menyadarinya.
Ter,,, ini bagus sebagai kajian untuk menuju proses pendewasaan yang sesungguhnya. Kedewasaan yang sesungguhnya tidak bisa diukur dengan bentuk, wujud maupun usia seseorang. Kedewasaan yang sesungguhnya itu identik dengan bijak, sabar, memahami dan bisa memaklumi. Itupun masih dalam tanda kutip dan terbungkus "dalam arti yang sesungguhnya pula".
Tinggi amat Tor,,,?!
Teerrr,,,!! ini bukan soal tinggi atau rendah. Ini soal pertaruhan yang dilakukan diri kita yang katanya,,? itu perintah! itu wajib..!! "ataukah" itu wujud syukur untuk TUHAN...???
Si Titer berkata dengan hasil renungannya sesaat; aku ingat sama lagunya si opick itu Tor,,, yang intinya; jika seandainya surga dan neraka itu tidak ada, apakah manusia masih mau menyembah Tuhannya?.
Yah,,, benar sekali Ter.., kata Tutor meng-iyakan. Lebih lagi jika kelak pertanyaan itu menjadi "apakah masih ada" manusia yang mau menyembah Tuhannya, jika.., seandainya surga dan neraka itu tidak ada.
Mungkinkah kalimat ini semacam sindiran atau tamparan buat manusia agar bangkit dari ke-merangkak-annya? tanya Titer.
Maksudmu Ter,,? kata Tutor.
Yaahhh,,, bersambung dehhhhhh..............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya